Bismillah...
Jumat, 28 Desember 2012 0 komentar

Tetap Semangat dalam Hal yang Bermanfaat





Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.” (HR. Muslim)

[Muslim: 47-Kitab Al Qodar, An Nawawi –rahimahullah- membawakan hadits ini dalam Bab “Iman dan Tunduk pada Takdir”] 

Beberapa pelajaran berharga dapat kita petik dari hadits ini.
 
1. Mukmin yang Kuat Lebih Utama daripada Mukmin yang Lemah
Mukimin yang kuat di sini bukanlah yang dimaksudkan adalah mukmin yang kekar badannya, perkasa dan sehat. Semacam ini yang sering dipahami sebagian orang tatkala mendengar hadits ini.

Yang dimaksud dengan mukmin yang kuat di sini adalah mukmin yang kuat imannya. Bukan yang dimaksudkan dengan kuat di sini adalah mukmin yang kuat badannya. Karena kuatnya badan biasanya akan menimbulkan bahaya jika kekuatan tersebut digunakan dalam hal maksiat. Namun pada asalnya, kuat badan tidak mesti terpuji dan juga tidak mesti tercela. Jika kekuatan tersebut digunakan untuk hal yang bermanfaat untuk urusan dunia dan akhirat, maka pada saat ini terpuji. Namun jika sebaliknya, digunakan dalam perbuatan maksiat kepada Allah, maka pada saat inilah tercela. 

Jadi, yang dimaksudkan kuat di sini adalah kuatnya iman. Kita dapat saja menyebut seorang itu kuat, maksudnya adalah dia perkasa dengan kejantanannya. Begitu pula kita dapat menyebut kuat dalam masalah iman.

Yang dimaksud dengan kuatnya iman di sini adalah seseorang mampu melaksanakan kewajiban dan dia menyempurnakannya pula dengan amalan sunnah. Sedangkan seorang mukmin yang lemah imannya kadangkala tidak melaksanakan kewajiban dan enggan meninggalkan yang haram. Orang seperti inilah yang memiliki kekurangan.

Lalu yang dimaksudkan bahwa orang mukmin yang kuat itu lebih baik daripada yang lemah adalah orang mukmin yang kuat imannya lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah imannya. 

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa mereka semua (yaitu mukmin yang kuat imannya dan mukmin yang lemah imannya) sama-sama memiliki kebaikan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan demikian agar jangan disalahpahami bahwa mukmin yang lemah imannya tidak memiliki kebaikan sama sekali. Mukmin yang lemah imannya masih tetap memiliki kebaikan dan dia tentu saja lebih baik daripada orang kafir. Namun sekali lagi diingat bahwa mukmin yang kuat imannya tentu saja lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah imannya. 

2. Bersemangatlah dalam Perkara yang Bermanfaat Bagimu
Inilah wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Wasiat beliau ini adalah perintah untuk bersemangat dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat. Lawan dari hal ini adalah melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan bahaya (dhoror), juga melakukan hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat atau pun bahaya. 

Karena yang namanya perbuatan itu ada tiga macam: [1] perbuatan yang mendatangkan manfaat, [2] perbuatan yang menimbulkan bahaya, dan [3] perbuatan yang tidak mendatangkan manfaat maupun bahaya. Sedangkan yang diperintahkan adalah melakukan macam yang pertama yaitu hal yang bermanfaat. 

Orang yang berakal yang menerima wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pasti akan semangat melakukan hal yang bermanfaat. Namun kebanyakan orang saat ini menyia-nyiakan waktunya untuk hal yang tidak bermanfaat. Bahkan kadangkala yang dilakukan adalah hal yang membahayakan diri dan agamanya. Terhadap orang semacam ini, pantas kita katakan: Kalian tidaklah mengamalkan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh jadi kalian tidak melaksanakannya karena tidak tahu atau karena menganggap remeh. Mukmin yang berakal dan mantap hatinya tentu akan melaksanakan wasiat beliau ini, juga akan semangat melakukan hal yang bermanfaat bagi agama dan dunianya. 

Hal yang manfaat dalam agama kembali pada dua perkara yaitu ilmu nafi’ (yang bermanfaat) dan amalan sholeh. 
 
Yang dimaksud dengan ilmu nafi’ adalah ilmu yang dapat melembutkan dan menentramkan hati, yang nantinya akan membuahkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ilmu nafi’ inilah ajaran Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat dalam tiga macam ilmu yaitu ilmu hadits, tafsir dan fiqih. Yang juga bisa menolong dalam menggapai ilmu nafi’ adalah bahasa Arab dan beberapa ilmu lainnya sesuai dengan kebutuhan.

Adapun yang dimaksud amalan sholeh adalah amalan yang selalu dilandasi dengan ikhlash dan mencocoki tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Adapun hal yang manfaat dalam masalah dunia adalah seorang hamba berusaha untuk mencari rizki dengan berbagai sebab yang diperbolehkan sesuai dengan kemampuannya. Juga hendaklah setiap orang selalu merasa cukup, tidak mengemis-ngemis dari makhluk lainnya. Juga hendaklah dia mengingat kewajibannya terhadap harta dengan mengeluarkan zakat dan sedekah. Dan hendaklah setiap orang berusaha mencari rizki yang thoyib, menjauhkan diri dari rizki yang khobits (kotor). Perlu diketahui pula bahwa barokahnya rizki seseorang dibangun di atas takwa dan niat yang benar. Juga berkahnya rizki adalah jika seseorang menggunakannya untuk hal-hal yang wajib ataupun sunnah (mustahab). Juga termasuk keberkahan rizki adalah jika seseorang memberi kemudahan pada yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلاَ تَنسَوُاْ الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ 

“Jangan lupakan untuk saling memberi kemudahan di antara kalian.” (QS. Al Baqarah: 237).
Yaitu yang memiliki kemudahan rizki memudahkan yang kesulitan, bahkan seharusnya memberi tenggang waktu dalam pelunasan hutang. Apabila semua ini dilakukan, datanglah keberkahan dalam rizki. 

3. Dahulukanlah Maslahat Agama
Hadits ini begitu baik untuk direnungkan oleh setiap insan, bahkan hadits ini bisa dijadikan pelita baginya dalam melakukan amalan dalam masalah agama maupun dunianya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Bersemangatlah kamu dalam melakukan hal yang bermanfaat bagimu”. Perkataan beliau ini mencakup segala sesuatu yang bermanfaat baik dalam masalah agama maupun dunia. Namun, apabila maslahat dunia dan agama itu bertabrakan, yang lebih didahulukan adalah maslahat agama. Karena jika maslahat agama tercapai, maka dunia pun akan diperoleh. Adapun jika maslahat dunia tercapai, namun agama malah menjadi rusak, maka nantinya maslahat tersebut akan sirna.

Semoga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut bisa menjadi renungan bagi kita semua. 

مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ 

“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2465. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih) 

4. Perlu Ada Skala Prioritas: Dahulukan Yang Memiliki Manfaat Lebih
Hadits ini juga menunjukkan bahwa jika bertentangan antara dua hal yang sama-sama manfaat, maka pilihlah perkata yang memiliki nilai manfaat yang lebih.

Misalnya adalah jika kita ingin bersilaturahmi dan kita punya dua pilihan yaitu bersilaturahmi ke saudara kandung dan paman. Keduanya sama-sama mendesak pada saat itu dan tidak mungkin kita berkunjung ke tempat keduanya sekaligus. Dari penjelasan di atas, kita haruslah mendahulukan silaturahmi kepada saudara kandung daripada paman karena berkunjung ke tempatnya tentu lebih utama dan lebih mendatangkan manfaat.

Begitu pula jika di dekat rumah kita ada dua masjid, yang jaraknya hampir sama. Akan tetapi salah satu dari dua masjid tersebut memiliki jama’ah lebih banyak. Dalam kondisi semacam ini, lebih utama shalat di masjid yang lebih banyak jama’ahnya. 

Jadi ingatlah baik-baik kaedah yang sangat bermanfaat ini: Jika bertentangan dua hal yang sama-sama bermanfaat, yang satu memiliki nilai lebih dari yang lainnya, maka kita mendahulukan yang memiliki nilai lebih tersebut. 

Namun sebaliknya, jika seseorang terpaksa harus melakukan hal yang terlarang dan dia punya dua pilihan. Di antara dua pilihan tersebut ada yang lebih berbahaya. Dalam kondisi semacam ini, dia harus memilih larangan yang lebih ringan. 

Jadi, jika ada beberapa perkara yang terlarang dan kita harus menerjanginya, maka pilihlah yang paling ringan. Namun dalam beberapa perkara yang diperintahkan dan kita harus memilih salah satu, maka pilihlah yang paling bermanfaat.

5. Jangan Lupa Meminta Pertolongan pada Allah
Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kita untuk semangat dalam melakukan hal yang bermanfaat, kemudian beliau menyampaikan wasiat pula agar kita jangan sampai lupa minta pertolongan pada Allah Yang Berada di atas sana.

Seorang yang berakal dan cerdas pasti akan melakukan hal yang bermanfaat dan akan memilih melakukan yang lebih manfaat. Namun terkadang hati ini berubah, sampai-sampai kita bersandar pada diri sendiri dan lupa meminta tolong pada Allah ‘azza wa jalla. Inilah yang terjadi pada kebanyakan orang, mungkin juga kita. Kita terkadang merasa takjub dengan diri sendiri, seraya dalam benak hati ini mengatakan: Saya pasti bisa menyelesaikannya sendiri. Dalam kondisi ini, Rabb tempat kita bergantung dan tempat kita memohon segala macam hajat, posisi-Nya terpinggirkan. Ketika kita sudah bersemangat dalam melakukan suatu amalan sholeh dan yang bermanfaat, terkadang kita terlena dengan kemampuan kita sendiri, merasa takjub dan lupa meminta tolong pada Rabb kita. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada kita: Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu dan minta tolonglah pada Allah. Maksudnya adalah janganlah kita melupakan meminta tolong pada-Nya walaupun itu adalah dalam perkara yang sepele.
Misalnya dalam hadits: 

لِيَسْأَلْ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ كُلَّهَا حَتَّى يَسْأَلَ شِسْعَ نَعْلِهِ إِذَا انْقَطَعَ 

“Hendaklah salah seorang di antara kalian meminta seluruh hajatnya pada Rabbnya, walaupun itu adalah meminta dalam hal tali sendal yang terputus.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya. Husain Salim Asad mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih berdasarkan syarat Muslim). 

Yaitu mintalah pada Allah walaupun dalam perkara sepele sekalipun, jangan sampai engkau melupakan-Nya. Misalnya: ketika engkau ingin berwudhu atau melaksanakan shalat, bergerak ke kanan dan ke kiri, atau mungkin ingin meletakkan sesuatu, maka pada saat itu jangan lupa untuk meminta tolong pada Allah. Karena seandainya tanpa pertolongan-Nya, niscaya sedikit pun tidak akan engkau raih. 

6. Teruslah Melakukan Suatu Amalan Hingga Usai
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan lagi: Wa laa ta’jiz, yakni janganlah engkau lemah. Yang dimaksudkan di sini adalah hendaknya seseorang terus melakukan amalan tersebut hingga selesai, janganlah menunda-nundanya, dan janganlah biarkan pekerjaan terlalaikan begitu saja. Janganlah mengatakan bahwa waktu masih panjang. Selama engkau bertekad melakukan sesuatu, yakin bahwa yang dilakukan bermanfaat, lalu engkau meminta pertolongan pada Allah, maka janganlah menunda-nunda melakukannya.

Betapa banyak kita lihat para penuntut ilmu dalam mengkaji agamanya, dia semangat mempelajari satu kitab. Setelah seminggu atau sebulan, dia pun berpindah mempelajari kitab lainnya, padahal kitab yang pertama tadi belum dipelajari hingga usai. Dia mungkin telah melakukan yang bermanfaat dan meminta pertolongan pada Allah, akan tetapi dia begitu ‘ajz (lemah). Apa ‘ajz-nya (lemahnya)? Yaitu dia tidak mampu ajeg dalam mempelajari kitab hingga usai. Karena makna dari hadits: “Janganlah engkau lemah” adalah: Janganlah engkau meninggalkan amalan. Namun setelah engkau tahu bahwa perkara tersebut bermanfaat, hendaklah engkau terus melakukannya hingga usai.

Perbuatan seperti yang dilakukan di atas cuma berpindah dari satu kitab ke kitab lain, namun tidak mendapatkan faedah apa-apa dan hanya menyia-nyiakan waktu semata.
-bersambung insya Allah- 

Oleh : Muhammad Abduh Tuasikal 
Kamis, 27 Desember 2012 0 komentar

6 Tips Meraih Ilmu





Sesungguhnya sesuatu yang paling besar untuk diwariskan berdasarkan kesepakatan penduduk bumi adalah ilmu. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إن الأنبياء لم يورثوا ديناراً ولا درهماً إنما ورثوا العلم

“ Sesungguhnya para Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mewariskan dinar, tidak pula dirham. Mereka hanyalah mewariskan ilmu “

Dan  yang dimaksud dengan ilmu adalah Ilmu syar’I yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Rabbnya Ta’ala

Imam Bukhari ketika menyebut kitab Ilmu di shahihnya, memulai dengan menyebut Keutamaan ilmu. Beliau berkata: Bab “Ilmu itu sebelum perkataan dan perbuatan.” Kemudian menyebutkan firman Allah, “Maka ketahuilah (ilmuilah), bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (Tuhan)  yang berhak disembah selain Allah.“

Maka amal perbuatan itu tidak diterima kecuali apabila berlandaskan atas ilmu.
Seorang hamba tidak mengetahui apa yang dicintai Allah dan diridhoiNya kecuali melalui jalan para Rasul, untuk itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk menuntut ilmu. Beliau bersabda :

من سلك طريقاً يلتمس فيه علما سهل الله له طريقاً إلى الجنة

“Barang siapa menití jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah memudahkannya jalan menuju syurga.”

Orang yang menuntut ilmu syar’i yang dapat mendekatkannya kepada Allah adalah orang yang mempunyai cita-cita tinggi, tidak peduli dengan hal yang remeh. Akan tetapi, menuntut ilmu tidak akan diperoleh seseorang melainkan apabila telah terkumpul padanya beberapa sifat yang telah disebutkan para ulama :

أخي لن تنال العلم إلا بستةٍ ……….. سأنييك عن تفاصيلها ببيان
ذكاء وحرص وافتقار وغربة ………….. وتلقين أستاذٍ وطول زمان


Saudaraku, engkau tidak akan mendapatkan ilmu, melainkan dengan enam perkara
Kuberitahukan kepadamu rinciannya secara jelas
Kecerdasan, bersungguh-sungguh, merasa butuh, mengasingkan diri,
bimbingan ustadz dan waktu yang lama

Sifat-sifat ini jika dimiliki seorang penuntut ilmu, niscaya akan tercapai tujuannya.
Sifat-sifat  itu diantaranya ialah:

1. Kecerdasan
Ilmu tidak diberikan kepada orang bodoh.Dan diantara tanda-tanda kecerdasan penuntut ilmu yaitu memulai hal yang kecil sebelum yang besar. Sebagaimana disebutkan Bukhari pada firman Allah :

ولكن كونوا ربا نيين

“akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani.”(Al imran : 79)

Yang dimaksud rabbani adalah orang yang mengajarkan dari hal yang kecil sebelum hal yang besar. Dia mulai dari apa yang bersifat fardlu ‘ain baginya, maka ia mulai dengan tauhid. Wajib bagi penuntut ilmu mempunyai kecerdasan, karena kecerdasan ini akan memberinya manfaat dalam mendapatkan ilmu.

2. Bersungguh-sungguh
Suatu hal yang paling besar yang banyak diperhatikan oleh penuntut ilmu adalah waktu. Waktu merupakan umur. Maka ulama kita –semoga Allah merahmati mereka- adalah orang yang paling perhatian dalam masalah waktu.

Seorang imam terpercaya Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Rozi berkata : 

”Kami memasuki Mesir dan menetap selama tujuh bulan. Kami tidak pernah merasakan kuah. Pada siang hari kami belajar kepada Syeikh, dan pada malam harinya kami menyalin materi”. Kemudian dia berkata, ”Lalu kami pergi untuk mengikuti pelajaran salah satu syeikh., ketika sampai di sana kami mendapati syeikh sedang sakit. Lalu kami hendak makan dan membeli ikan. Setelah itu kami membawanya ke rumah tersebut dan ternyata sudah jadwalnya syeikh yang lain untuk mengajar. Lalu kami tinggalkan ikan tersebut dan kami berangkat.” Setelah selesai pelajaran, dia berkata : ”Kami tidak sempat memanaskannya sehingga kami memakannya dalam keadaan mentah.” Hal ini menunjukkan perhatian mereka yang besar terhadap waktu.

3. Merasa membutuhkan
Meskipun engkau telah memperoleh ilmu, jangan mengira bahwa dirimu berada di atas segalanya. Merasa membutuhkan adalah hal yang penting bagi penuntut ilmu dengan selalu merasa bahwa dia belum mencapai sesuatu. Imam Bukhori, seorang ulama besar menceritakan tentang muridnya Imam Tirmidzi.
Betapa indahnya perkataan Sufyan Ats Tsauri : Seseorang  tidak akan mulia sampai mengambil ilmu dari orang yang lebih pandai darinya dan dari orang yang semisalnya dan yang berada di bawahnya.”
Merasa membutuhkan bagi seorang penuntut ilmu itu sangat penting. Dasarnya adalah tawadlu dan menjaga jiwa.

4. Ghurbah (mengasingkan diri )
Ghurbah di sini mempunyai dua makna:
  • Melakukan perjalanan jauh untuk menuntut ilmu.Yaitu kamu bepergian dan meningggalkan keluarga dan tempat tinggalmu untuk menuntut ilmu. Perjalanan ini merupakan sesuatu kebanggaan para ulama terdahulu terutama ulama hadits. Apakah di antara kita saat ini ada yang memiliki keinginan yang kuat meski berada di kejauhan ketika mendengar hadits, ”Barangsiapa yang mengatakan Lailaha illallah Muhammad Rasulullah, dibukakan baginya kedelapan pintu surga.”
  • Tidak berkumpul dengan manusia.Yaitu sesungguhnya teman-temanmu yang bersamamu dalam menghabiskan waktu adalah para penuntut ilmu. Sehingga engkau merasa asing jika berada di suatu tempat yang penduduknya bukan penuntut ilmu.
5. Bimbingan Guru
Mengambil ilmu dari para guru (Syeikh) memberimu 3 faedah :
  • Mempersingkat waktu.Kitab yang biasa engkau baca dalam waktu satu bulan,maka dengan bimbingan guru dapat diringkas hanya dalam waktu satu pekan saja dengan ringkasan yang baik.
  • Meluruskan pemahaman yang keliru
  • Mengajarkan adab.
Maka merendahlah kamu di hadapan guru meskipun engkau memiliki ilmu yang tidak dimilikinya. Betapa indahnya apa yang dikatakan oleh Mujahid bin Jabr rahimahullah, ”Tidak akan memperoleh ilmu dua golongan, orang yang malu dan orang yang takabbur.”

6. Waktu yang lama
Menuntut ilmu itu dalam waktu yang lama merupakan hal yang sangat penting bagi penuntut ilmu. Penuntut ilmu itu tidak boleh terburu-buru dan merasa cukup dengan sedikit dari apa yang sudah dipelajarinya. Dan tidak boleh merasa cukup dengan membaca buku saja. Maka wajib baginya untuk menuntut ilmu sepanjang umur dan waktu.

Sumber : Ringkasan ceramah Kaifa Athlubul Ilma,oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwainy di http://www.alheweny.org/new/play.php?catsmktba=696, diambil dari direktori-islam.com
Selasa, 25 Desember 2012 0 komentar

Ulama Sepakat, Haram Mengucapkan Selamat Natal


Sebagian kalangan apalagi awalnya dari pemikiran liberal dan ingin menyatukan setiap agama samawi mulai mengendorkan akidah kaum muslimin dengan menyampaikan fatwa nyleneh. Muncul ulama-ulama kontemporer yang memandang sah-sah saja mengucapkan selamat natal pada Nashrani. Padahal memulai mengucapkan salam pada mereka saja tidak dibolehkan, sama halnya dengan mengucapkan selamat pada mereka pada hari raya mereka[1]. Intinya kesempatan kali ini, Rumaysho.com akan menyampaikan bahwa sudah ada klaim ijma’ (kesepakatan ulama) sejak masa silam yang menunjukkan haramnya mengucapkan selamat pada hari raya non-muslim, termasuk hari raya natal.

Dalil Kata Sepakat Ulama
Klaim ijma’ haramnya mengucapkan selamat pada hari raya non-muslim terdapat dalam perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah berikut ini,


وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق ، مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم ، فيقول: عيد مبارك عليك ، أو تهْنأ بهذا العيد ونحوه ، فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثماً عند الله ، وأشد مقتاً من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس ، وارتكاب الفرج الحرام ونحوه ، وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ، ولا يدري قبح ما فعل ، فمن هنّأ عبداً بمعصية أو بدعة ، أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطه

“Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.

Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.

Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” (Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 441)

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan pula,

تهنئة الكفار بعيد الكريسمس أو غيره من أعيادهم الدينية حرامٌ بالاتفاق

“Ucapan selamat hari natal atau ucapan selamat lainnya yang berkaitan dengan perayaan agama orang kafir adalah haram berdasarkan sepakat ulama” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 3: 45).

Syaikhuna, Syaikh Dr. Sholih Al Fauzan hafizhohullah berkata dalam fatwanya, “Hal-hal yang sudah terdapat ijma’ para ulama terdahulu tidak boleh diselisihi bahkan wajib berdalil dengannya. Adapun masalah-masalah yang belum ada ijma’ sebelumnya maka ulama zaman sekarang dapat ber-ijtihad dalam hal tersebut. Jika mereka bersepakat, maka kita bisa katakan bahwa ulama zaman sekarang telah sepakat dalam hal ini dan itu. Ini dalam hal-hal yang belum ada ijma sebelumnya, yaitu masalah kontemporer. Jika ulama kaum muslimin di seluruh negeri bersepakat tentang hukum dari masalah tersebut, maka jadilah itu ijma’.”[2]
Bagi yang menyelisihi ijma’ ulama, sungguh telah sesat dan keliru. Allah Ta’ala berfirman,


وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An Nisa’: 115). Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) mereka.

Larangan Mengagungkan dan Menyemarakkan Perayaan Non-Muslim
Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu pernah berkata,


اجتنبوا أعداء الله في عيدهم

Jauhilah orang-orang kafir saat hari raya mereka” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi di bawah judul bab ‘terlarangnya menemui orang kafir dzimmi di gereja mereka dan larangan menyerupai mereka pada hari Nairuz dan perayaan mereka’ dengan sanadnya dari Bukhari, penulis kitab Sahih Bukhari sampai kepada Umar).

Nairuz adalah hari raya orang-orang qibthi yang tinggal di Mesir. Nairuz adalah tahun baru dalam penanggalan orang-orang qibthi. Hari ini disebut juga Syamm an Nasim. Jika kita diperintahkan untuk menjauhi hari raya orang kafir dan dilarang mengadakan perayaan hari raya mereka lalu bagaimana mungkin diperbolehkan untuk mengucapkan selamat hari raya kepada mereka.
Sebagai penguat tambahan adalah judul bab yang dibuat oleh Al Khalal dalam kitabnya Al Jaami’. Beliau mengatakan, “Bab terlarangnya kaum muslimin untuk keluar rumah pada saat hari raya orang-orang musyrik…”. Setelah penjelasan di atas bagaimana mungkin kita diperbolehkan untuk mengucapkan selamat kepada orang-orang musyrik berkaitan dengan hari raya mereka yang telah dihapus oleh Islam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam bukunya, Al Iqtidha’ 1: 454 menukil adanya kesepakatan para sahabat dan seluruh pakar fikih terhadap persyaratan Umar untuk kafir dzimmi, “Di antaranya adalah kafir dzimmi baik ahli kitab maupun yang lain tidak boleh menampakkan hari raya mereka … Jika kaum muslimin telah bersepakat untuk melarang orang kafir menampakkan hari raya mereka lalu bagaimana mungkin seorang muslim diperbolehkan untuk menyemarakkan hari raya orang kafir. Tentu perbuatan seorang muslim dalam hal ini lebih parah dari pada perbuatan orang kafir.”

Al Hafiz Ibnu Hajar setelah menyebutkan hadits dari Anas tentang mencukupkan diri dengan dua hari raya yaitu Idul Fitri dan Idul Adha dan setelah mengatakan bahwa sanad hadits tersebut berkualitas shahih. Haditsnya adalah Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,


قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata, “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr)” (HR. Ahmad 3: 178, sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).

Ibnu Hajar lantas mengatakan, “Bisa disimpulkan dari hadits tersebut larangan merasa gembira saat hari raya orang musyrik dan larangan menyerupai orang musyrik ketika itu. Bahkan Syaikh Abu Hafsh Al Kabir An Nasafi, seorang ulama mazhab Hanafi sampai berlebih-lebihan dalam masalah ini dengan mengatakan, ‘Siapa yang menghadiahkan sebutir telur kepada orang musyrik pada hari itu karena mengagungkan hari tersebut maka dia telah kafir kepada Allah” (Fathul Bari, 2: 442).

Dalam Faidhul Qadir (4: 551), setelah Al Munawi menyebutkan hadits dari Anas kemudian beliau menyebutkan terlarangnya mengagungkan hari raya orang musyrik dan barang siapa yang mengagungkan hari tersebut karena hari itu adalah hari raya orang musyrik maka dia telah kafir.[3]

Wallahu waliyyut taufiq.



[1] Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ

Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashara dalam salam (ucapan selamat).” (HR. Muslim no. 2167).

[2] Lihat fatwa beliau di sini: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/2385
[3] Lihat di sini: http://www.olamayemen.com/show_art4.html

Artikel Asli : http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/4184-ulama-sepakat-haram-mengucapkan-selamat-natal.html 


@ Sakan 27, Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 8 Shafar 1434 H
www.rumaysho.com

---- kutipan dari web asli ---
Baca artikel penting lainnya:
1- Bolehkah Seorang Muslim Mengucapkan Selamat Natal?
2- Sanggahan untuk Yusuf Qordhowi yang Membolehkan Ucapan Selamat Natal
3- Download E-book: Sanggahan untuk Yusuf Qordhowi yang Membolehkan Ucapan Selamat Natal
Senin, 24 Desember 2012 0 komentar

Sungguh Merugi Siapa Yang Mendapati Orang tuanya Masih Hidup Tapi Tidak Meraih Surga





Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘anhuma pernah berkata kepada seorang laki-laki, “Apakah kamu takut masuk neraka dan ingin masuk surga?” Laki-laki itu menjawab, “Tentu.” Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘anhuma berkata, “Berbaktilah pada ibumu. Demi Alloh, sekiranya kamu lemah lembut dalam berbicara kepadanya dan memberinya makan, niscaya kamu benar-benar akan masuk surga, selama kamu menjauhi dosa-dosa besar.” [Jami’ Al-’Ulum Wa Al-Hikam, 1/170].

Muhammad bin Al-Munkadir Rohimahulloh pernah meletakkan pipinya di tanah, kemudian berkata kepada ibunya, “Ibuku, berdiri dan letakkanlah kaki ibu di atas pipiku.” [Nuzhah Al-Fudhola’, 2/806].

Ibnu Al-Munkadir Rohimahulloh juga pernah berkata, “Saudaraku, ‘Umar menghabiskan malamnya dengan sholat, sedangkan aku menghabiskan malamku dengan mengelus-elus kaki ibuku, dan aku tidak ingin malamku itu diganti dengan malam saudaraku.” [Nuzhah Al-Fudhola’, 2/609].

Dari Muhammad bin Sirin Rohimahulloh, dia berkata, “Pada masa ‘Utsman bin Affan, harga pohon kurma mencapai seribu dirham. Usamah menuju suatu pohon kurma, lalu menggigitnya dan mengeluarkan daging pohon kurma yang paling lunak, kemudian menghidangkannya untuk ibunya. Orang-orang berkata kepadanya, “Apa yang membuatmu melakukan hal ini, sementara kamu tahu bahwa harga pohon kurma sampai seribu dirham?” Dia menjawab, “Karena ibuku memintanya, dan tidaklah beliau meminta sesuatu kepadaku yang aku mampu, melainkan aku pasti akan memberikan itu kepadanya.”” [Birr Al-Walidain, hal. 29].

Dari Abu Burdah, dia berkata, “Aku pernah mendengar ayahku bercerita, bahwa dia pernah melihat Ibnu ‘Umar dan seorang laki-laki dari Yaman yang sedang menggendong ibunya melakukan thowaf di Baitulloh, laki-laki itu berkata,
“Sesungguhnya aku adalah untanya yang ditundukkan
Jika ia mengejutkan sanggurdinya, niscaya aku tidak akan terkejut”

Kemudian dia berkata, “Wahai Ibnu ‘Umar, apakah kamu berpendapat bahwa aku telah membalas ibuku?” Ibnu ‘Umar menjawab, “Tidak, meskipun hanya sehela nafas (keletihan)nya..” Kemudian Ibnu ‘Umar berthowaf hingga sampai maqom, lalu sholat dua roka’at, kemudian berkata, “Wahai Ibnu Abu Musa, sesungguhnya setiap dua roka’at dapat menghapus dosa-dosa yang ada di depan kedua orang tua.” [Al-Adab Al-Mufrod, bab Jaza’ Al-Walidain, hal. 17].

Dari Abu Hazim, bahwa Abu Murroh, mantan sahaya Ummu Hani’, putri Abu Tholib, telah mengabarkan kepadanya, bahwa dia pernah naik kendaraan bersama Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘anhu ke kampungnya di al-Aqiq. Tatkala dia sampai di daerahnya, maka dia berteriak kencang, “Semoga keselamatan, Rahmat Alloh dan KeberkahanNya terlimpahkan kepadamu wahai ibuku!” Kemudian ibunya menyahut, “Semoga keselamatan, Rahmat Alloh dan KeberkahanNya juga terlimpahkan kepadamu.” Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘anhu berkata kembali, “Semoga Alloh merahmatimu sebagaimana engkau telah mendidikku tatkala aku masih kecil.” Ibunya menimpali, “Demikian juga engkau wahai anakku. Semoga Alloh membalasmu dengan kebaikan dan meridhoimu sebagaimana engkau telah berbakti kepadaku di kala aku telah tua.” [Al-Adab Al-Mufrod, hal. 17].

Abu Bakar ‘Ayyasy berkata, “Aku pernah duduk bersama Manshur di rumahnya. Kala itu ibunya yang keras berteriak kepadanya seraya mengatakan, “Wahai Manshur, Ibnu Hubairoh menginginkanmu menjadi qodhi, kenapa kamu menolaknya?” Mendengar hardikan ibunya Manshur hanya menunduk tanpa melihat kepada ibunya.” [Al-Birr Wa Ash-Shilah, Ibnul Jauzi].

Haiwah bin Syuroih, salah seorang imam kaum Muslimin, pernah suatu hari duduk di halaqohnya untuk mengajarkan ilmu kepada orang-orang. Tiba-tiba ibunya berkata kepadanya, “Bangkitlah wahai Haiwah, taburkanlah gandum untuk ayam kita.” Maka dia pun bangkit dan meninggalkan taklimnya. [Al-Birr Wa Ash-Shilah, Ibnul Jauzi].

Dari Ibnu ‘Aun, bahwa pada suatu saat ibunya memanggilnya, maka dia pun menjawab panggilan sang ibu. Ternyata suaranya melebihi suara ibunya, karena itu dia pun memerdekakan dua budak.” [Nuzhah Al-Fudhola’, 2/656].

Pada suatu hari Ibnu Al-Hasan At-Tamimi Al-Bashri hendak membunuh seekor kalajengking. Kalajengking tersebut masuk ke dalam sarangnya. Maka dia memasukkan jari-jarinya ke lubang sarang tersebut, sehingga kalajengking itu menyengatnya. Lalu dia berkata kepada kalajengking itu, “Aku khawatir kamu keluar lalu menghampiri ibuku untuk menyengatnya.” [Nuzhah Al-Fudhola’, 2/653].

‘Abdulloh bin Ja’far Al-Marwazi berkata, “Aku pernah mendengar Bundar mengatakan, “Suatu ketika aku hendak pergi untuk suatu perjalanan, namun ibuku melarangku, maka aku pun menaatinya (untuk tidak pergi), dan ternyata aku mendapat berkah karenanya.”” [Nuzhah Al-Fudhola’, 2/989].

Al-Ma’mun berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang anak yang lebih berbakti kepada ayahnya daripada Al-Fadhl bin Yahya. Baktinya tersebut sampai pada suatu keadaan di mana Yahya (ayahnya) tidak pernah berwudhu kecuali dengan air hangat. Kala itu dia sedang di penjara, lalu para penjaga penjara melarang keduanya memasukkan kayu bakar di malam yang sangat dingin, maka ketika Yahya mulai tidur, Al-Fadhl mengisi air di botol, kemudian menghangatkan air tersebut dengan mendekatkannya ke api lampu. Dia terus berdiri memegang botol tersebut hingga pagi hari.”

Selain Al-Ma’mun menceritakan, bahwa para penjaga penjara mengetahui apa yang dilakukan oleh Al-Fadhl yang mendekatkan api lampu untuk menghangatkan air. Sehingga mereka melarang orang-orang yang ada di penjara untuk menyalakan lampu di malam berikutnya. Maka Al-Fadhl memenuhi botol dengan air, kemudian dia bawa ke tempat tidurnya, dan dia tempelkan pada perutnya hingga air itu menjadi hangat. [Al-Birr Wa Ash-Shilah, Ibnul Jauzi].

Muhammad bin ‘Abdurrohman bin Abu Az-Zinad adalah seseorang yang sangat berbakti kepada ayahnya. Suatu kali ayahnya memanggil, “Wahai Muhammad.” Ternyata dia tidak menyahut hingga datang kepada ayahnya dalam keadaan kepala tertunduk lalu menyahutinya. Sang ayah kemudian menyuruhnya melakukan suatu keperluannya. Dia langsung menyanggupinya tanpa bertanya-tanya karena ta’zhim kepadanya, hingga dia bertanya kepada orang lain yang paham tentangnya. [Al-Birr Wa Ash-Shilah, Ibnul Jauzi]

Dari Anas bin An-Nadhr Al-Asyja’i, dia berkata, “Pada suatu malam ibu Ibnu Mas’ud pernah meminta air minum kepadanya. Tatkala Ibnu Mas’ud datang membawakan air kepadanya, ternyata dia mendapati ibunya sudah tidur, maka dia tetap memegang air tersebut di dekat kepala ibunya hingga pagi hari.” [Birr Al-Walidain, Ibnu Al-Jauzi, 1/5].

Zainal Abidin adalah seorang yang sangat berbakti kepada ibunya, hingga pada suatu saat dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya engkau adalah orang yang sangat berbakti kepada ibumu, akan tetapi kami tidak pernah melihatmu makan satu piring bersamanya.” Maka dia menjawab, “Aku khawatir tanganku mendahuluinya mengambil sesuatu yang telah dilihat matanya sehingga aku menjadi durhaka kepadanya.”

(Diketik ulang dari buku “Sungguh Merugi Siapa Yang Mendapati Orang tuanya Masih Hidup Tapi Tidak Meraih Surga” Penulis: Ghalib bin Sulaiman Al-Harbi, penerbit: Darul Haq, hal. 39-44

Kontributor

 
;