Manusia adalah makhluk yang
memiliki kecenderungan untuk bercermin kepada orang lain; meniru tingkah laku
dan gerak-geriknya, mengikuti gaya hidupnya; mulai dari cara berpakaian, cara
berdandan, potongan rambut, model rumah, kendaraan, bahkan kadang sampai cara
tersenyum dan berbicaranya mengikuti gaya orang lain, yang dia anggap lebih
baik dan lebih sempurna dari dirinya.
Perkataan orang lain yang menjadi cerminnya adalah mutiara petuah dan permata nasihat bagi kehidupannya. Informasi perkembangan cerminnya senantiasa di up date, tidak pernah ketinggalan. Bahkan foto-foto dan gambar-gambar sang idola terpampang di dinding rumahnya atau di dinding FB dan BBnya.
Perkataan orang lain yang menjadi cerminnya adalah mutiara petuah dan permata nasihat bagi kehidupannya. Informasi perkembangan cerminnya senantiasa di up date, tidak pernah ketinggalan. Bahkan foto-foto dan gambar-gambar sang idola terpampang di dinding rumahnya atau di dinding FB dan BBnya.
Dia akan marah bila ada yang
bersuara sumbang tentang cerminnya, bahkan dia siap pasang badan bagi siapa
saja yang menebarkan debu kotor padanya. Karena bagi dia, hanya orang itulah
yang pantas untuk diikuti, seorang panutan dan suri tauladan..
Namun sayangnya banyak yang
bercermin pada cermin yang pudar bahkan berantakan, sehingga hidupnya menjadi
berantakan walaupun godaan iblis dan bisikan nafsu menghiasi keberantakan
dirinya.
Ia merasa senang dan gembira
dengan gaya hidupnya, padahal ia jauh dari standarisasi kebahagian yang hakiki.
Dan cermin dalam kehidupan
memiliki fungsi dan peran yang sangat penting dalam mengarahkan alur hidup
seorang hamba. Iblis dan bala tentaranya sangat mengetahui hal ini, sehingga
mereka berusaha untuk menciptakan cermin-cermin pudar dan berantakan namun
dihiasi beribu berlian yang gemerlapan, sehingga manusia silau dan berebut
untuk bercermin kepadanya.
Sebagai contoh adalah fenomena
acara di televisi yang menceritakan kehidupan para artis atau yang mirip
dengannya, di mana acara ini mengandung propaganda agar para pemirsa, dari
mulai anak-anak, para remaja, muda-mudi bahkan yang tua pun untuk bercermin
kepada mereka. Sehingga yang buruk dan dimurkai Ilahi bila datangnya dari para
artis idola, akan dianggap biasa bahkan diikuti tanpa rasa malu, karena buat
mereka itu indah dan sempurna.
Islam adalah agama yang sesuai
dengan fitrah manusia, Allah Jalla
Jalaluhu mengetahui dengan pasti apa yang dibutuhan makhluk
ciptaannya, manusia butuh cermin, dan dia memang suka bercermin, maka agar
manusia ini tidak bercermin kepada cermin yang pudar nun pecah dan berantakan,
Allah Jalla Jalaluhu
menjelaskan dalam kalamnya kepada siapa manusia harus bercermin, karena Allah
telah menciptakan cermin-cermin indah dan elok, di mana Allah Jalla Jalaluhu setelah
menceritakan kisah-kisah para nabi sebelum nabi kita Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam,
Allah berfirman kepada nabi Nya:
أولَـئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ
“Mereka Itulah orang-orang yang
telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka (QS.
Al An’am:90).
Subhanallah,
merekalah yang pantas ditiru tingkah laku dan dicontoh gaya hidup, mereka
adalah orang bahagia calon penghuni surga.
Dan kisah-kisah indah lagi penuh
makna yang disebutkan di dalam Alquran dan sunah bukanlah hanya sekedar untuk
wawasan dan wacana belaka, namun lewat kisah-kisah itu, umat harus belajar,
mengikuti petunjuk-petunjuk mereka, dan menjadikan mereka cermin dalam
mengarungi samudera kehidupan.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam
adalah sosok cermin yang sangat elok, yang tak pudar dimakan zaman, bahkan
Allah menekankan tentang hal ini di dalam Alquran
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ
كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al
Ahzab: 21).
Para sahabat telah benar-benar
bercermin kepada Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam, kemudian para tabi’in tidak pernah meninggalkan
cermin yang tak pernah pudar itu, sehingga mereka pun menjadi cermin-cermin
elok bagi murid-murid mereka yang berlanjut sampai hari ini.
Menyelami lautan kehidupan mereka
akan menambah gereget keimanan, memompa semangat untuk beramal baik, apalagi di
masa kini, masa krisis figur sehingga sulit mencari cermin yang elok, Abu
Hanifah berkata:
الحكايات عن العلماء ومحاسنهم أحب إلي من كثير من الفقه لأنها آداب
القوم
“Kisah para ulama lebih aku sukai
daripada banyak pelajaran fiqih, lantaran dalam kisah itu terdapat gambaran
akhlaq dan adab mereka.” (Tartib
al-Madarik, Qadhi ‘Iyadh 1:23).
Salah satu cermin yang elok dan
tak pudar adalah kehidupan salah seorang tabi’ut tabi’in Abdullah bin
al-Mubarak al-Hanzhali Maulahum al-Marwazi, yang dilahirkan pada tahun 118 H.
Ayah ia berdarah Turki, dahulunya adalah seorang hamba sahaya, sedangkan ibunda
ia berasal dari Khawarizm di Persia.
Tengoklah bagaimana putra mantan
budak ini kelak menjadi seorang ulama hebat dan konglomerat yang dermawan. Imam
Dzahabi menyebutkan tentangnya:
الإِمَامُ، شَيْخُ الإِسْلاَمِ، عَالِمُ زَمَانِهِ، وَأَمِيْرُ
الأَتْقِيَاءِ فِي وَقْتِهِ، الحَافِظُ، الغَازِي، أَحَدُ الأَعْلاَمِ،.
Dialah Imam, Syaikhul Islam, yang
paling alim di masanya, pimpinannya orang-orang yang bertaqwa di waktunya,
al-Hafidz al-Ghazi (seorang pejuang) salah satu tokoh.
Ibnul Mubarak, telah mulai
menuntut ilmu pada waktu yang mungkin agak terlambat, Imam adz-Dzahabi
menyebutkan dalam ensiklopedinya Siyar
A’lam an-Nubala’, bahwa ia baru memulai menimba ilmu tatkala usia
ia memasuki dua puluh tahun, namun hal ini tidak membuat ia tertinggal oleh
teman-temannya yang telah menimba ilmu terlebih dahulu.
Perlu digarisbawahi, bahwa tiada
kata terlambat untuk menuntut ilmu, karena ilmu tetap bersahaja sampai
kapanpun, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
الدنيا ملعونة ملعون ما فيها إلا ذكر الله وما والاه وعالما أو
متعلما
“Dunia ini terlaknat dan dilaknat
segala sesuatu yang ada padanya, kecuali dzikirullah dan ketaatan kepada-Nya,
orang yang berilmu, dan orang yang belajar ilmu.” (HR.
Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan Albani).
Belajar di Penjara:
Guru tertua ia adalah al-Allamah
al-Muhaddits Rabi’ bin Anas al-Khurrsani, salah seorang paling berilmu di
masanya. Ada yang unik dengan cara Ibnul Mubarak belajar kepada gurunya ini, di
mana saat itu orang-orang tidak dapat berjumpa dan belajar kepadanya, karena
gurunya ini sedang berada di dalam penjara, disebabkan kezhaliman penguasa saat
itu, maka Ibnul Mubarak bersisasat agar bisa mendengarkan dan meriwayatkan
hadis darinya, dan ia pun berhasil meriwayatkan kira-kira 40 hadis darinya.
Sesulit apapun kondisi hamba, dia tetap harus berusaha untuk belajar dan
menimba ilmu.
Guru-guru Abdullah bin al-Mubarak
Al-Abbas bin Mush’ab meriwayatkan
dari Ibrahim bin Ishaq al-Bunani, ia meriwayatkan bahwa Ibnul Mubarak berkata;
“Aku telah belajar kepada 4 ribu guru, dan aku meriwayatkan hadis dari 1000
guru”. Al-Abbas bin Mush’ab berkata: Maka aku pun menelusuri guru-guru yang ia
meriwayatkan hadis dari mereka sehingga terkumpul bagiku 800 gurunya. Subhanallah.
Kedudukan Abdullah bin al-Mubarak
Seorang ahli hadis Abu Usamah,
Hammad bin Usamah berkata tentang Abdullah bin al-Mubarak,
ابْنُ المُبَارَكِ فِي المُحَدِّثِيْنَ مِثْلُ أَمِيْرِ
المُؤْمِنِيْنَ فِي النَّاسِ
“Ibnul Mubarak di kalangan ahli
hadis adalah serupa dengan amirul
mu’min (penguasa umat) di kalangan manusia secara umum.”
Subhanallah, pada
hakikatnya ilmu adalah lebih mulia dan utama dari harta benda dan kekuasaan
ataupun jabatan dan kedudukan, simaklah kesaksian seorang yang tinggal di
istana raja yang penuh dengan kemewaah dan kelimpahan harta, diriwayatkan bahwa
salah satu Ummu Walad khalifah Islam saat itu, yaitu Harun al-Rasyid. Pada
suatu waktu Khalifah Harun al-Rasyid berkunjung ke kota Raqqah di Syiria, namun
tiba-tiba orang-orang berebut mengikuti Abdullah bin al-Mubarak, sehingga
sandal-sandal terputus dan debu berterbangan, maka sang Khalifah ini melongok
keluar dari menara istana yang terbuat dari kayu, seraya berkata keheranan,
“مَا هَذَا؟
قَالُوا: عَالِمٌ مِنْ أَهْلِ خُرَاسَانَ قَدِمَ.
قَالَتْ: هَذَا -وَاللهِ- المُلْكُ، لاَ مُلْكَ هَارُوْنَ الَّذِي
لاَ يَجْمَعُ النَّاسَ إِلاَّ بِشُرَطٍ وَأَعْوَانٍ”.
“Ada apa ini?”, maka orang-orang
yang di sekitarnya berkata, “Ini ada seorang alim ulama dari Khurasan yang
datang”. Maka dia pun berkata, “Demi Allah, inilah yang dikatakan kerajaan,
bukan kerajaan Harun yang tidak mengumpulkan manusia kecuali dengan pasukan dan
hulu baling.”
Kerendahan Hati Abdullah bin al-Mubarak
Ibnul Mubarak adalah orang yang
memiliki sifat tawadhu’
(rendah hati) dan jauh dari kesombongan, dikisahkan pada suatu hari bahwa
Abdullah bin al-Mubarak menghadiri majlis hadis gurunya Hammad bin Zaid, maka
para penuntut hadis itu berkata kepada Hammad: “Mintakan kepada Abi Abdirrahman
(yakni Abdullah bin al-Mubarak) untuk meriwayatkan hadis kepada kami”, maka
sang Guru berkata
قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ! يَا أَبَا إِسْمَاعِيْلَ، أُحَدِّثُ وَأَنْتَ
حَاضِرٌ. فَقَالَ: أَقسَمتُ عَلَيْكَ لَتَفْعَلَنَّ.
“Wahai Aba Abdirrahman
riwayatkanlah hadis untuk mereka, sesungguhnya mereka telah memohon kepadaku
hal ini”. Abdullah bin al-Mubarak tertengun dengan hal itu seraya
berkata, “Subhanallah,
Wahai Aba Ismail (kun-yah Hammad bin Zaid) bagaimana mungkin aku meiwayatkan
hadis sedang dirimu hadir di sini”, mendengar itu Hammad bin Zaid berkata; “Aku
bersumpah kepadamu agar kamu melakukannya”. Maka karena sumpah gurunya ini,
terpaksa Ibnul Mubarak menurutinya, dan ia pun berkata “Ambillah, telah
meriwayatkan kepada kami Abu Ismail Hammad bin Zaid”, tidaklah ia meriwayatkan
satu hadis pun pada saat itu kecuali hadis-hadis yang didengarnya melalui jalur
gurunya Hammad”.
Allahu Akbar,
beginilah seharusnya akhlaq para ulama, saling menghormati dan saling
menghargai, karenanya ilmu mereka bermanfaat untuk umat.
Kebiasaan yang Aneh
Abdullah bin al-Mubarak memiliki
suatu kebiasaan yang agak aneh menurut teman-temannya, di mana ia lebih
menyukai duduk sendirian di rumahnya dari pada ngobrol bersama teman-temannya,
sehingga mereka bertanya:
: أَلاَ تَسْتَوحِشُ؟ فَقَالَ: كَيْفَ أَسْتَوحِشُ وَأَنَا مَعَ
النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وَأَصْحَابِهِ؟!
“Apakah kamu tidak merasa
kesepian?”. Maka ia menjawab, “Bagaimana Aku akan merasa kesepian sedangkan aku
bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiallau ‘anhum“, yakni mengkaji sunah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan atsar
para sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Subhanallah, seharusnya apabila kita bila
merasa bosan di rumah, jenuh dengan rutinitas, maka cobalah mengusirnya dengan
membaca kitabullah
dan hidup bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, khususnya ibu-ibu yang
berada di rumah.
Kelembutan Hati dan Ketakutannya kepada Allah
Selain keilmuaannya yang matang,
Ibnul Mubarak adalah sosok alim ulama yang lembut hatinya, Nu’aim bin Hammad
menceritakan bahwa Apabila Ibnul Mubarak membaca buku-buku raqaa-iq (tentang
kelembutan hati), maka seakan-akan dia adalah seekor lembu yang disembelih,
karena menangis, sehingga tiada seorang pun yang berani bertanya sesuatu
kepadanya kecuali akan didorongnya”.
Nuaim bin Hammad juga berkata
bahwa pada suatu hari seseorang berkata kepada Ibnul Mubarak, “Aku telah
membaca seluruh Alquran dalam satu rakaat”. Ibnul Mubarak berkata kepadanya;
“Akan tetapi aku mengetahui seseorang yang semalam suntuk mengulang-ulangi Al Hakumuttakastur sampai
fajar terbit, dia tidak mampu untuk melampauinya”. Dan orang yang
dimaksud olehnya adalah dirinya sendiri.
Subhanallah, semakin
berilmu seorang, maka akan semakin bertambah rasa takutnya kepada Allah Ta’ala, membaca Alquran
yang baik adalah bukan yang cepat dan kilat, sehingga dia tidak dapat
menghayati apa yang dibaca, namun yang baik adalah bagaimana mengaji sambil
menghayati isi dari firman Allah itu, Allah Ta’ala
berfirman:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ
وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu, yang
penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya
orang-orang yang mempunyai pikiran mendapat pelajaran.” (QS.
Shad:29)
Bersambung…
Oleh: Syafiq Riza Hasan
Basalamah MA
0 komentar:
Posting Komentar